Kamis, 18 Februari 2010

STRESS PADA TENAGA KERJA SATUAN PENGAMAN (SATPAM)

Tenaga kerja satuan pengaman (satpam) sering kita lihat bekerja di perusahaan, kampus atau tempat-tempat hukum lainnya. Telah kita ketahui bahwa seorang satpam bertugas untuk menjaga keamanan dan menertipkan keadaan lingkungan. Sama halnya dengan definisi dari Menteri Tenaga Kerja dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yakni ”Bahwa Tenaga Kerja Satpam merupakan salah satu faktor yang penting dibidang keamanan dan ketertiban di lingkungan Instansi, Proyek, Perusahaan dan Badan Hukum lainnya serta mempunyai kekhususan dalam bidang tugasnya sehingga berada di bawah pembinaan teknis Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Menurut sistem tenaga kerja, seorang pekerja bekerja 8 jam dalam sehari dan 40 jam dalam seminggu. Adakalanya jam kerja satpam yang bekerja di kantor atau di kampus melebihi 8 jam sehari. Biasanya sampai 12 jam sehari, hal ini dipandang karena pekerjaan dari para satpam tidak terlalu berat. Namun bagaimana dengan keadaan cuaca yang panas dan para pemakai kendaraan yang memarkirkan kendaraan dengan sembarangan, yang menyebabkan terjadinya stress. Hal ini akan dibahas di bawah ini.

Pengertian Stres
Manuaba (dalam Tarwaka, dkk, 2004) mengemukakan bahwa stress adalah segala rangsangan atau aksi dari tubuh manusia baik yang berasal dari luar maupun dari dalam tubuh itu sendiri yang dapat menimbulkan bermacam-macam dampak yang merugikan mulai dari menurunnya kesehatan sampai kepada dideritanya suatu penyakit. Dalam kaitannya engan pekerjaan, semua dampak dari stress tersebut akan menjurus kepada menurunnya perfomansi, efisiensi dan produktivitas kerja yang bersangkutan.
Mandelson (dalam Tarwaka, dkk, 2004) mendefinisikan stress akibat kerja secara lebih sederhana, dimana stress merupakan suatu ketidakmampuan pekerja untuk menghadapi tuntutan tugas dengan akibat suatu ketidaknyamanan dalam kerja. Sedangkan respon stress merupakan suatu total emosional individu atau merupakn respon fisioligis terhadap kejadian yang diterimanya. Dari beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa stress muncul akibat adanya berbagai stressor yang diterima oleh tubuh, yang selanjutnya tubuh memberikan reaksi (strain) dalam beranekaragam tampilan.
Faktor Penyebab Stres Kerja
Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres,
yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal (Dwiyanti dalam agungpia.multiply.com). Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa atau pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri.
Menurut Patton (dalam Tarwaka, dkk, 2004) bahwa perbedaan reaksi antaa individu tersebut sering disebabkan karena faktor psikologi dan sosial yang dapat merubah dampak stressor bagi individu. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1) Kondisi individu seperti umur, jenis kelamin, temperamental, genetic, intelengensia, pendidikan, kebudayaan dll.
2) Ciri kepribadian seperti introvert atau ekstrovert, tingkat emosiaonal, kepasrahan, kepercayaan diri dll.
3) Sosial-kognitif seperti dukungan sosial, hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya.
4) Strategi untuk menghadapi setiap stress yang muncul.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya stress kerja. Faktor personal atau individu dan faktor lingkungan. Faktor individu, yaitu berasal dari diri sendiri seperti yang telah dijabarkan di atas. Dalam menempatkan seorang karyawan pada posisi tertentu ada beberapa tahap yaitu rekrutmen, seleksi dan penempatan. Meski satpam hanya mempunyai tugas menjaga keamanan namun tetap harus disesuaikan dengan kepribadian seseorang, apabila seorang satpam mempunyai kepribadian yang temperamental dan ditambah dengan keadaan cuaca yang panas akan semakin meningkatkan stress pada dirinya dan bisa saja dapat berkelanjutan hingga ke lingkungan keluarganya. Jadi sudah barang tentu tahapn dalam menempatkan seorang karyawan sangat penting meski untuk menjadi satpam, karena dalam tahapn ini dapat diketahui kesesuaian antara pekerja dengan tempat kerja.
Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik yakni suhu yang terlalu panas, cahaya dan sebagainya. Pos satpam biasanya hanya sebuah ruangan sempit yang jika pada siang hari dan tidak adanya kesediaan kipas tentu akan membuat gerah, dengan cepat dapat memicu amarah dan berujung pada munculnya stress. Selain suhu yang panas, sistem pengajian juga mempengaruhi. Kerja satpam memang tidak begitu berat dibandingkan dengan para pekerja lainnya, tapi kalau dilihat dari waktu kerja yang melebihi ketentuan (8 jam sehari) harus mendapat gaji lembur. Seperti yang telah di tentukan dalam putusan Menteri Tenaga Kerja dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia ”Setiap Tenaga Kerja Satpam yang bertugas melebihi jam kerja delapan jam sehari atau melebihi jumlah jam kerja akumulatif 40 jam seminggu, harus sepengetahuan dan dengan Surat Perintah Tertulis dari Pimpinan Perusahaan dan Badan Hukum lainnya yang diperhitungkan sebagai jam kerja lembur”.
Selain faktor-faktor di atas yang menyebabkan stress akibat kerja terdapat satu penyebab lagi yakni sistem manajemen shift kerja. Pada tempat-tempat umum terdapat penjagaan selama 24 jam, jadi sudah tentu saja membutuhkan pergantian satpam. Maka dibuat pembagian jam kerja yaitu, pagi (06.00-14.00), siang (14.00-22.00), dan malam (22.00-06.00) (ergonomics4schools.com). tapi bagi satpam yang jam kerjanya 12 jam sehari dapat dibagi menjadi dua shift pagi dan malam. Shift yang lebih berat adalah shift pada malam hari, karena pada malam har sistem metabolisme tubuh bekerja lebih lambat dan manusia memiliki waktu tubuh (circadian rhythm) binatang juga memilikinya. Temperatur, detak jantung, peredaran darah dan mental merubah untuk bekerja lebih berat pada malam hari (ergonomics4schools.com). maka tingkat stress lebih besar terdapat pada pekerja yang bekerja pada malam hari dibanding pada pagi atau siang hari.
Pengaruh Stress
Telah dijelaskan bahwa reaksi tubuh terhadap stressor pada seseorang sangat bervariasi dan berbeda dari masing-masing orang yang menerimanya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor psikologis dan faktor sosial-budaya seseorang. Mathews (dalam Tarwaka, dkk, 2004) menjelaskan secara spesifik tentang reaksi stress akibat kerja yaitu:
1) Reaksi psikologi. Stress biasanya merupakan perasaan subjektif seseorang sebagai bentuk kelelahan, kegelisahan (anxiety) dan depresi. Reaksi psikologi kepada stress dapat dievaluasi dalam bentuk beban mental, kelelahan dan perilaku (arousal).
2) Respon sosal. Setela beberapa lama mengalami kegelisahan, depresi, konflik dan stress, maka pengaruhnya akan dibawa ke dalam lingkungan keluarga dan lingkungan sosial.
3) Respon stress kepada gangguan kesehatan dan reaksi fisiologis. Bila tubuh mengalami stress, maka akan terjadi perubahan fisologis sebagai jawaban atas terjadinya stress. Adapun sistem di dalam tubuh yang mengadakan respon adalah diperantai oleh saraf otonom, hypothalamic-pituitari axis dan pengeluaran katekolamin yang akan mempengaruhi fungsi-fungsi organ di dalam tubuh seperti sistem kardiovaskuler, sistem gastro intestinal dan gangguan penyakit lainnya (Wantoro dalam Tarwaka, dkk, 2004).
4) Respon Individu. Pengaruhnya sangat tergantung dari sifat dan kepribadian seseorang. Dalam menghadapi stress, individu dengan kepribadian introvert akan bereaksi lebih negatif dan menderita ketegangan lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berkepribadian ekstrovert. Seseorang dengan kepribadian fleksibel atau luwes akan mengalami ketegangan yang lebih besar dalam suatu konflik, dibandingkan dengan mereka yang berkepribadian rigid.
Pencegahan dan Pengendalian Stress Akibat Kerja
Berbagai faktor penyebab terjadinya stress merupakan bagian terintegrasi dalam kehidupan manusia yang tidak dapt dihilangkan begitu saja. Faktor penyebab terjadinya stress tersebut sangatlah komplek dan bervariasi serta sangat sulit untuk diidentifikasi secara pasti apa yang menjadi stress sesungguhnya. Sehingga sering kita temui bahwa seseorang yang terkena stress biasanya tidak menyadari terhadap apa yang sedang dialaminya.
Sauter, et a.l (dalam Tarwaka, dkk, 2004) dikutip dari National Institute far Occupotional Safety and Health (NIOSH) memberikan rekomendasi tentang bagaimana cara untuk mengurangi atau meminimalisasi stress akibat kerja sebagai berikut:
1) Beban kerja baik fisik maupun mental harus disesuaikan dengan kemampuan atau kapasitas kerja pekerja yang bersangkutan dengan menghindarkan adanya beban berlebihan maupun beban yang terlalu ringan.
2) Jam kerja harus disesuaikan baik terhadap tuntutan tugas maupu tanggung jawab di luar pekerjaan.
3) Setiap pekerja harus diberikan kesempatan untuk mengembangkan karier, mendapat promosi dan pengembangan kemampuan keahlian.
4) Membentuk lingkungan sosial yang sehat, hubungan antara tenaga kerja yang satu dengan yang lain, tenaga kerja-supervisor yang baik dan sehat dalam organisasi akan membuat situasi yang nyaman.
5) Tugas-tugas pekerjaan harus didesain untuk dapat menyediakan stmulasi dan kesempatan agar pekerja dapat menggunakan ketrampilannya. Rotasi tugas dapat dilakukuan untuk meningkatkan karier dan pengembangan usaha.
Suprihanto dkk (dalam agungpia.multiply.com) mengatakan bahwa dari sudut pandang organisasi, manajemen mungkin tidak khawatir jika karyawannya mengalami stres yang ringan. Alasannya karena pada tingkat stres tertentu akan memberikan akibat positif, karena hal ini akan mendesak mereka untuk melakukan tugas lebih baik. Tetapi pada tingkat stress yang tinggi atau stress ringan yang berkepanjangan akan membuat menurunnya kinerja karyawan. Stress ringan mungkin akan memberikan keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan merupakan hal yang diinginkan. Maka manajemen mungkin akan berpikir untuk memberikan tugas yang menyertakan stress ringan bagi karyawan untuk memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu akan dirasakan sebagai tekanan oleh si pekerja. Maka diperlukan pendekatan yang tepat dalam mengelola stres, ada dua pendekatan yaitu pendekatan individu dan pendekatan organisasi.
1. Pendekatan Individual
Seorang karyawan dapat berusaha sendiri untuk mcngurangi level stresnya. Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu; pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat. Selain itu untuk mengurangi stress yang dihadapi pekerja perlu dilakukan kegiatan-kegiatan santai. Dan sebagai strategi terakhir untuk mengurangi stress adalah dengan reuni dengan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya.
2. Pendekatan Organisasional
Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang semuanya dikendalikan oleh manajemen, sehingga faktor-faktor itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh manajemen untuk mengurangi stress karyawannya adalah melalui seleksi dan penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi fisik dan mental.

Referensi
Tarwaka, dkk. 2004. Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Uniba Press. Surakarta.
Agung. 2008. stress kerja. Diakses di http://agungpia.multiply.com
Menteri Tenaga Kerja Dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. Kep.275/Men/1989 dan No. Pol. : Kep/04/V/1989 tentang pengaturan jam kerja, shift dan jam istirahat serta pembinaan tenaga kerja satuan pengaman (satpam). Diakses di google.com

Minggu, 14 Februari 2010

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TERHADAP KEBIASAAN MEROKOK

Dewasa ini di seluruh dunia diperkirakan terdapat 1,26 miliar perokok, lebih dari 200 juta di antaranya adalah wanita. Data WHO menyebutkan, di negara berkembang jumlah perokoknya 800 juta orang, hampir tiga kali lipat negara maju. Hingga tahun 2000 konsumsi rokok per kapitanya mencapai 1370 batang per tahun, dengan kenaikan 12 persen. Kerugian ekonomi akibat rokok setahunnya adalah tidak kurang dari 200 miliar dolar Amerika. Kalau tidak ada penanganan memadai, maka di tahun 2030 akan ada 1,6 miliar perokok (15 persen di antaranya tinggal di negara-negara maju), 10 juta kematian (70 persen di antaranya terjadi di negara berkembang) dan sekitar 770 juta anak yang menjadi perokok pasif dalam setahunnya. 20 sampai 25% kematian di tahun itu dapat terjadi akibat rokok (Aditama, 2002).
Kebiasaan merokok bukan lagi merupakan hal yang tabu untuk dilakukan, karena banyak yang merokok dan mereka merokok di tempat-tempat umum. Padahal telah ada larangan merokok di tempat umum. Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2003 menyatakan perlunya tercipta kawasan bebas rokok pada tempat-tempat yang menjadi akses umum. Kawasan yang dimaksud adalah tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, tempat belajar mengajar, tempat ibadah dan angkutan umum.
Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh kepada meningkatnya indicator kesehatan masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidkan kesehatan.

Peranan Pendidikan Kesehatan
Berbicara mengenai status kesehatan, kita selalu mengacu kepada H.L. Blum. Dari hasil penelitiannya di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang sudah maju Blum menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besa terhadap status kesehatan. Kemudian disusul oleh perilaku yang menduduki peringkat nomor dua. Pelayanan kesehatan, dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil. Kalau pada negara sedang berkembanga seperti Indonesia masalah yang paling serius adalah perilaku masyarakat dan begitu juga dengan pembahasan ini, kita hanya akan membahas mengenai perilaku.
Menurut Lewrence Green perilaku dilatar belakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni:
a) faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yakni: pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, nilai dan sebagainya
b) faktor-faktor yang mendukung (enabling factors) yaitu ketersediaan sumber-sumber/fasilitas
c) faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reingforcing factors) yaitu, sikap dan perilaku petugas.
Pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut. Skema dari Blum dan Green tersebut dapat dimodifikasi sebagai berikut:


Hubungan Status Kesehatan, Perilaku, dan Pendidikan kesehatan





Telah dijelaskan di atas bahwa yang mempengaryhi perilaku adalah faktor predisposisi, pendukung, dan faktor penguat. Yang akan dijabarkan di bawah ini:
1. faktor-faktor predisposisi (predisposing factors),
 pengetahuan, biasanya para perokok telah menyadari bahaya tentang rokok, namun tetap saja mereka tidak dapat menghentikan kebiasaan merokok. Hal ini karena kesadaran dalam diri belum ada atau dalam tingkatan perubahan perilaku tahap ini baru memasuki tahap ”tahu” tetapi belum ”mau” dan ”mampu” untuk merubah perilaku yang ada.
 Sikap, para perokok mempunyai sikap yang acuh tak acuh dengan kebiasaan yang mereka lakukan.
 Kepercayaan, ada sebagian masyarakat yang percaya bahwa kalau tidak merokok mereka akan merasa ”tidak jantan”. Namun yang sebenernya dengan merokok mereka akan terserang berbagai penyakit, seperti TB hingga kanker dan kematian.
 Tradisi, berbicara soal tradisi memang susah untuk dirubah dengan cepat. Tapi pendekatan yang peling tepat yaitu kepada generasi muda, dengan merubah pola pikir generasi muda maka tradisi yang telah ada dapat dirubah sedikit demi sedikit.
2. Faktor-faktor yang mendukung (enabling factors):
 Media, misalnya iklan-iklan yang ada di media masa. Dapat kita melihat iklan di televisi yang menyatakan ”ketangguhan” seorang perokok, ada juga ”keberanian dan kegigihan” dan masih banyak lagi. Yang semuanya menunujukan kehebatan kalau kita merokok. Namun untuk diketahui bahwa rokok memang mengandung bahan penenang dan sisanya adalah bahan-bahan yang berbahaya untuk tubuh kita (karsinogen).
3. Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong (reingforcing factors),
 Sikap dan perilaku petugas, petugas kesehatan yang memberikan penyuluhan tentang bahaya rokok terhadap kesehatan secara berkala agar masyarakat dapat merubah perilaku merokok.


Konsep Pendidikan Kesehatan
Kegiatan atau proses belajar dapat di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Seorang dapat dikatakan belajar apabila di dalam dirinya terjadi perubahan, dari tahu menjadi tahu, dari tidak meninggalkan merokok dapat meninggalkan merokok. Namun tidak semua perubahan itu terjadi karena belajar saja, misalnya perkembangan anak dari tidak dapat berjalan menjadi dapat berjalan. Perubahan ini terjadi bukan dari hasil proses belajar, tetapi karena proses kematangan. Dari uraian singkat ini dapat disimpilkan bahwa kegiatan belaja itu mempunyai ciri-ciri: belajar adalah kegiatan yang menghasilkan perubahan pada diri individu, kelompok atau masyarakat yang sedang belajar, baik aktual maupun potensial. Ciri kedua dari hasil belajar adalah bahwa perubahan tersebut didapatkan karena kemampuan baru yang berlaku untuk waktu yang relatif lama. Ciri ketiga adalah bahwa perubahan itu terjadi karena usaha dan disadari, bukan karena kebetulan.

Input (yang merokok)--> proses belejar --> output (hasil belajar)

Referensi
Notoatmodjo Soekidjo. 2003. Ilmu Kesehtan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Data Perokok, tersedia di http://www.fkm.undip.ac.id

Jumat, 12 Februari 2010


Masukkan Code ini K1-A229EY-8
untuk berbelanja di KutuKutuBuku.com